Selasa, 13 Oktober 2009

Chapter One

Niki duduk membisu sepanjang perjalanan menuju sekolah. Di kursi pengemudi Rizky—kakak semata wayang Niki yang tengah berusia 23 tahun—diam-diam mengamati adik satu-satunya yang tidak berhenti melamun. Didengarnya Niki menghembuskan nafas berkali-kali, bola matanya adiknya menerawang menembus jendela mobil, kepalanya mengadah menatap langit-langit. Rizky tahu tatapan itu kosong. Niki memang sangat suka mengamati bentuk awan-awan di langit, mengagumi bentuknya yang halus seperti kapas namun mampu menghiasi langit dengan berbagai jelmaan, tidak jarang Niki menangkap bentuk awan yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Tapi Rizky sadar hari ini, di awal bulan oktober dimana hujan mulai turun secara rutin membasahi kota Jakarta. Yang pasti, tidak ada alasan untuk Niki menatap langit mendung pagi ini. Karena tidak ada satu bentuk awan yang menari di langit sana, hanya hamparan kabut mendung seperti lapisan berwarna abu-abu yang kosong.
Rizky tahu betul adiknya sedang gelisah dan resah. Tapi Rizky sama tidak tahu pasti apa yang menyebabkan Niki yang biasanya ceria dan selalu cengengesan ketika bersamanya menjadi berubah drastis begitu, Rizky baru saja pulang dari New Zealand setelah lulus dari Auckland University. Ia berada di Jakarta selama sebulan, tidak banyak waktu yang ia habiskan bersama Niki karena mulai sibuk berpartisipasi di perusahaan keluarga besar mereka.
Tapi dengan hanya waktu satu bulan Rizky bisa sedikit membaca dilema yang dirasakan adiknya. Sama seperti dirinya, Niki juga seharusnya memilih jalan hidupnya sendiri, namun kebebasannya terancam. Rizky telah memilih, keahliannya dibutuhkan untuk menjalankan perusahaan milik Kakek yang saham-sahamnya dipegang oleh anak-anak mereka sendiri. Ayahnya menjadi salah satu pemegang saham di perusahaan keluarga besar Arliccan itu. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarganya, Rizky merasa mempunyai tanggung jawab yang besar, tanggung jawab yang memaksanya meninggalkan kecintaannya terhadap musik. Terhadap violin. Akhirnya Rizky mengambil mata kuliah ekonomi manajemen seperti yang diinginkan Ayahnya. Dan selama di rumah, tidak jarang Rizky mendengar orang tuanya mulai mengarahkan Niki agar memilih mata kuliah marketing. Kalau mereka sudah bicara panjang lebar tentang itu, air muka Niki langsung berubah.
Rizky menebak-nebak, apakah dilema yang dirasakannya beberapa tahun lalu kini dirasakan oleh Niki? Rizky tidak tahu pasti. Yang pasti Rizky mengkhawatirkan adiknya, karena menurutnya perasaan perempuan lebih sensitif.
“Nik, udah pakai sepatu belom? Bentar lagi sampe.”, Rizky membuka pembicaraan sambil memutar stir.
“Oh iya…”, Niki bergumam lirih, namun ia tidak bergerak sedikitpun. Ia hanya melirik sepatunya yang diinjak dengan tali yang tidak terikat sekilas, lalu kembali menatap kosong ke bentangan awan tanpa bentuk yang mulai melepaskan rintik-rintik air hujan. Ini selalu menjadi kebiasaan buruk Niki, tidak sadar sepatunya belum terpakai dengan benar, tidak jarang ia tersandung akibat hal itu.
“Nanti pulang jam berapa? Gue jemput deh kalo sempet, kalo nggak naik bajaj aja yaa..”, Rizky berusaha melucu, namun adiknya tak tergugah sama sekali. Rizky tidak mau menyerah, “Ehh, tapi kayaknya bakal hujan terus nihh, jangan-jangan banjir lagi…”, lanjutya sambil memasang wajah cemas. Niki menatap Kakaknya, Rizky balas menatap sambil tersenyum geli, “Kalo banjir lo naik getek aja ya!”, serunya. Mau tak mau Niki tergelak, dengan kurang aja di dorong kepala Kakaknya sambil tertawa geli. Rizky lega luar biasa bisa melihat senyum adiknya lagi.
“Jayuuuss!!!”, sembur Niki.
“Heh, jayus sih jayus tapi nggak usah pake nyiprat gitu dong! Nanti mobil gue bau kena air liur lo!”, Rizky meledek adiknya.
“Air liur gue sama kata ‘bau’ itu nggak cocok, kalo sama kata ‘wangi’ tuh baru pas!”, dengan bangganya Niki berkata, Rizky mulai menyesal membuat adiknya normal lagi. Kalau Niki sudah normal, pasti dia suka melakukan hal gila yang kadang terlihat freak.
“Pas kampret lo!”, Rizky sewot, bibirnya menekuk bête. Namun hatinya tetap senang.
“Aduh! Nurut aja kenapa sih!”, balas Niki sambil menjitak kepala Kakaknya. Mereka berdua saling adu mulut sesaat, lalu tertawa-tawa di dalam mobil seperti orang gila.
“Nanti gue jemput jam berapa?”, tanya Rizky lagi.
“Hemm… Jam… lima aja deh.”, bola mata Niki bergerak kesana-kemari menandakan ia sedang serius memperkirakan sesuatu.
“Hah? Kok sekolah sampe sore gitu sih?”
“Iya, soalnya ada seminar gitu dari universitas-universitas negeri. Mereka juga mau persentasi gitu buat ngenalin kampus-kampus mereka…”
“Ohh gitu. Emang lo mau kuliah dimana?”, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Rizky. Keduanya terdiam, Rizky merasa jadi orang paling tolol karena telah melontarkan pertanyaan dengan label ‘danger’ itu. Air muka Niki langsung berubah menjadi kalut, dihempaskan tubuhnya bersandar di kursi mobil, Rizky semakin menyesal melihatnya. Sementara Niki sendiri merasa tidak kepada Rizky karena tidak menjawab pertanyaan Kakaknya, ia bukan tidak mau menjawab, tapi karena tidak tahu harus menjawab apa. Seperti ada yang meleleh di dalam hatinya, dan lelehan itu terasa tak nyaman, menggetarkan seluruh syarafnya.
Untunglah mereka berdua tidak harus memikirkan kata-kata yang tepat untuk mencairkan suasana, setelah mobil sampai di depan gerbang SMA Nusantara Niki langsung melompat turun dari mobil tanpa mengucapkan apa-apa. Niki berlari menembus gerimis menuju koridor sekolah. Pikirannya terlalu kalut untuk merangkai kata-kata, dan hatinya terlalu resah untuk merasa.

***

Kak Rizky salah ngomong apa sengaja ya? Pikir Niki sambil menatap pantulan dirinya di cermin besar yang terpasang di dinding kamar mandi. Rambut sebahu Niki yang berwarna segelap malam dan ikal di bagian bawah lembab karena terkena gerimis tadi, dan Niki merasa agak kedinginan. Sekolah masih sepi, memang kebiasaannya berada dalam kategori ‘murid-murid pendatang pagi’, karena rumahnya yang terletak cukup jauh dari sekolah.
Niki begitu gelisah, tapi ia tidak pernah yakin dengan perasaannya. Ia tahu apa yang ia inginkan dari dirinya, menjadi penulis… entah itu menulis puisi, cerita, artikel. Apapun itu, ia ingin mendalami sastra. Tapi Niki tak pernah tahu apa yang pantas untuknya. Niki tahu dirinya bukan siswa yang bodoh di sekolahnya, nilai-nilainya bisa dibilang berprestasi. Beberapa bulan lagi ia akan meninggalkan bangku sekolah, melewati masa remajanya yang penuh kebebasan, dan mulai memasuki dunia yang mengarah pada realita. Kuliah. Bagi Niki itu bukan hal yang main-main, baginya kuliah adalah proses dimana seseorang akan memperdalam ilmu yang diinginkannya dan akan berguna baginya suatu hari kelak. Tapi hampir semua orang yang mendengar dirinya ingin masuk sastra tidak menyetujui hal tersebut. Mulai dari keluarga dan teman-temannya. Bukan berarti jurusan sastra itu direndahkan, tapi bagi sebagian besar orang sangat disayangkan otak Niki yang mampu menampung mata kuliah ekonomi atau komunikasi memilih untuk mengambil sastra. Menurut mereka jika memang Niki suka menulis ia bisa mengerjakannya tanpa harus masuk sastra. Niki akui dalam pikirannya itu benar, tapi hatinya memberontak.
Setelah beberapa menit berdiam diri dengan perasaan tak karuan, Niki memutuskan untuk pergi ke kelas. Hari ini ia ingin sekali duduk sejauh mungkin dari mesin pendingin ruangan yang ada di kelas, karena kulitnya mulai terasa menggigil.
Niki berjalan sambil sibuk mencari handuk kecil yang dibawanya setiap hari untuk mengeringkan rambutnya yang tak kunjung kering juga… Brrruuuuuuukkk!!!
“Aww…”, Niki terjungkal karena menginjak tali sepatunya sendiri. Bibir mungilnya meringis kesakitan, dalam hati ia memaki dirinya sendiri karena begitu bodohnya tidak mendengarkan peringatan dari Rizky agar memakai sepatu dengan benar.
Jreng. Terdengar suara petikan gitar dari balik punggung Niki, ia menoleh. Seorang murid cowok yang tingginya bukan main, berkulit kecoklatan namun bersih, rambut lurus cowok itu mencuat-cuat berantakan, member kesan bandel. Garis wajah cowok dihadapannya sebetulnya tegas dengan rahang dan alisnya yang tajam, tapi ekspresinya menunjukan ia orang yang cuek. Mereka beradu pandang beberapa detik. Niki mengira-ngira cowok dihadapannya ini adalah adik kelasnya, karena dia sama sekali tak mengenalnya.
“Lo ngapain disitu?”, tanya cowok itu sambil menggulum senyumnya. Senyum jahil sekaligus meremehkan.
“Hah?”
“Emang koridor ini dijadiin kelas juga ya?”, dengan gaya menyebalkan cowok itu bertanya. Niki memutar bola mata, merasa makhluk dihadapannya benar-benar menyedihkan karena tidak punya sopan santun. Jelas-jelas gue udah terkapar di lantai dengan posisi memalukan begitu, dia masih tanya ngapain? Bantuin gue bangun, kek! Jadi makhluk kok nggak berguna banget! Niki tidak bisa berhenti menggerutu dalam hati. Dengan usahanya sendiri ia bangkit dan membereskan barang-barangnya. Secara refleks ia mengusap-usap bagian yang terbentur lantai.
Anehnya cowok itu belum pergi juga, malah asyik memetir gitar. Niki memperhatikannya dengan lebih seksama. Dugaannya benar, adik kelasnya ini memang jangkung sekali—setidaknya dibandingkan dengan dirinya, Niki hanya setinggi lehernya. Dan ia mengakui adik kelasnya yang satu ini sangat tampan.
“Kenapa liat-liat?”, tanya cowok itu setelah merasa diperhatikan Niki cukup lama. Niki mendadak jadi gugup karena ketahuan memperhatikan.
“Lo kelas berapa?”, tanya Niki penasaran. Dia memang tidak aktif di organisasi sekolah, pergaulannya juga tidak begitu luas, tapi cowok sejangkung dan seganteng ini pasti menonjol di kalangan murid-murid, lalu kenapa ia merasa sangat asing? Apa mungkin dia murid kelas sepuluh?
“Emang kenapa lo mau tau?”, jawaban cowok itu sunggu membuat emosi Niki naik. Astaga… sabar Niki sabaaar. Namanya juga anak baru gede, masih tengil.
“Gue jarang liat lo.”, jawab Niki tak bisa menahan nada galaknya.
“Hem, nggak heran. Dengan badan sekuntet itu mana bisa ngeliat yang tinggi-tinggi… ”, balasnya cowok yang masih sibuk memainkan gitar itu dengan nada cuek, ia terlihat bercanda sekaligus menghina. Niki tak habis piker apa yang merasuki tubuh adik kelasnya ini sehingga bisa sekurang ajar itu kepada kakak kelas yang bahkan tidak dikenal dan tidak mengenalnya.
“Hah? Ap—lo! Gue kun—! Ugh, dasar… freak!”, setelah menyelesaikan omelan singkatnya yang meluap-luap, Niki membalikan badan dan pergi dengan menghentak-hentakan langkahnya, lalu…. Brruuuuuukkkk!!!
Niki jatuh untuk yang kedua kali pagi ini.

***
"GYAAAAAAA!!!!", teriakan Niki menggemparkan satu kelas. Untungnya tidak ada seorangpun disana kecuali Qisty dan Berny. Qisty dan Berny adalah teman sekelasnya di IPS-3, sekaligus sahabatnya sejak SD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar